Oleh: Agus Salim Khan
Para hadirin
yang berbahagia.
Pada hakekatnya tak ada penyejuk yang benar-benar menyegarkan, dan tak ada obat yang paling mujarab selain taqwa kepada Allah. Hanya taqwa kepadaNyalah satu-satunya jalan keluar dari berbagai problem kehidupan, yang mendatangkan keberkahan hidup, serta menyelamatkan dari adzabNya di dunia maupun di akhirat nanti, karena taqwa jualah seseorang akan mewarisi Surga Allah Subhannahu wa Ta'ala.
Saudara-saudara yang berbahagia.
Pengertian taqwa itu sendiri mengandung makna yang bervariasi di kalangan ulama. Namun semuanya bermuara kepada satu pengertian yaitu seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dari adzabNya, hal ini dapat terwujud dengan melaksanakan apa yang di perintahkan-Nya dan menjauhi apa yang di larang-Nya.
Para hadirin yang berbahagiaPada hakekatnya tak ada penyejuk yang benar-benar menyegarkan, dan tak ada obat yang paling mujarab selain taqwa kepada Allah. Hanya taqwa kepadaNyalah satu-satunya jalan keluar dari berbagai problem kehidupan, yang mendatangkan keberkahan hidup, serta menyelamatkan dari adzabNya di dunia maupun di akhirat nanti, karena taqwa jualah seseorang akan mewarisi Surga Allah Subhannahu wa Ta'ala.
Saudara-saudara yang berbahagia.
Pengertian taqwa itu sendiri mengandung makna yang bervariasi di kalangan ulama. Namun semuanya bermuara kepada satu pengertian yaitu seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dari adzabNya, hal ini dapat terwujud dengan melaksanakan apa yang di perintahkan-Nya dan menjauhi apa yang di larang-Nya.
Bila kata taqwa disandarkan kepada Allah maka artinya takutlah kepada kemurkaanNya, dan ini merupakan perkara yang besar yang mesti ditakuti oleh setiap hamba. Imam Ahmad bin Hambal Radhiallaahu anhu berkata, “Taqwa adalah meninggalkan apa-apa yang dimaui oleh hawa nafsumu, karena engkau takut (kepada Dzat yang engkau takuti)â€. Lebih lanjut ia mengatakan, “Takut kepada Allah, ridha dengan ketentuanNya dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kiamat nanti.â€
Para hadirin yang berbahagia
Pada hakekatnya Allah Subhannahu wa Ta'ala mewasiatkan taqwa ini, bukan hanya pada umat Nabi Muhammad, melainkan Dia mewasiatkan kepada umat-umat terdahulu juga, dan dari sini kita bisa melihat bahwa taqwa merupakan satu-satunya yang diinginkan Allah.
Allah Subhannahu wa Ta'ala menghimpun seluruh nasihat dan dalil-dalil, petunjuk-petunjuk, peringatan-peringatan, didikan serta ajaran dalam satu wasiat yaitu Taqwa.
Hadirin yang berbahagia.
Pernah suatu ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berwasiat mengenai taqwa, dan kisah ini diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam shalat subuh bersama kami, kemudian memberi nasihat dengan nasihat yang baik yang dapat meneteskan air mata serta menggetarkan hati yang mendengarnya. Lalu berkatalah salah seorang sahabat, “Ya Rasulullah, sepertinya ini nasihat terakhir oleh karena itu nasihatilah kamiâ€. Lalu Nabi bersabda:
ط£ظژظˆظ’طµظگظٹظ’ظƒظڈظ…ظ’
ط¨ظگطھظژظ‚ظ’ظˆظژظ‰ ط§ظ„ظ„ظ‡ظگ ظˆظژط§ظ„ط³ظ‘ظژظ…ظ’ط¹ظگ ظˆظژط§ظ„ط·ظ‘ظژط§ط¹ظژط©ظگطŒ
ظˆظژط¥ظگظ†ظ’ ظƒظژط§ظ†ظژ ط¹ظژط¨ظ’ط¯ظ‹ط§ طظژط¨ظژط´ظگظٹظ‘ظ‹ط§طŒ
ظپظژط¥ظگظ†ظ‘ظژظ‡ظڈ ظ…ظژظ†ظ’ ظٹظژط¹ظگط´ظ’ ظ…ظگظ†ظ’ظƒظڈظ…ظ’ ظپظژط³ظژظٹظژط±ظژظ‰
ط§ط®ظ’طھظگظ„ط§ظژظپظ‹ط§ ظƒظژط«ظگظٹظ’ط±ظ‹ط§طŒ ظپظژط¹ظژظ„ظژظٹظ’ظƒظڈظ…ظ’
ط¨ظگط³ظڈظ†ظ‘ظژطھظگظٹظ’ ظˆظژط³ظڈظ†ظ‘ظژط©ظگ ط§ظ„ظ’ط®ظڈظ„ظژظپظژط§ط،ظگ
ط§ظ„ط±ظ‘ظژط§ط´ظگط¯ظگظٹظ’ظ†ظژ ط§ظ„ظ’ظ…ظژظ‡ظ’ط¯ظگظٹظ‘ظگظٹظ’ظ†ظژطŒ
ط¹ظژط¶ظ‘ظڈظˆظ’ط§ ط¹ظژظ„ظژظٹظ’ظ‡ظژط§ ط¨ظگط§ظ„ظ†ظ‘ظژظˆظژط§ط¬ظگط°ظگطŒ
ظˆظژط¥ظگظٹظ‘ظژط§ظƒظڈظ…ظ’ ظˆظژظ…ظڈطظ’ط¯ظژط«ظژط§طھظگ ط§ظ’ظ„ط£ظڈظ…ظڈظˆظ’ط±ظگطŒ
ظپظژط¥ظگظ†ظ‘ظژ ظƒظڈظ„ظ‘ظژ ط¨ظگط¯ظ’ط¹ظژط©ظچ ط¶ظژظ„ط§ظژظ„ظژط©ظŒ.
Artinya: “Aku
wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaati,
sekalipun kepada budak keturunan Habsyi. Maka sesungguhnya barangsiapa di
antara kamu hidup (pada saat itu), maka dia akan menyaksikan banyak perbedaan
pendapat. Oleh karena itu hendaklah kamu mengikuti sunnahku dan sunnah
khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi
gerahammu (peganglah sunnah ini erat-erat). Dan berwaspadalah kamu terhadap
perkara yang diada-adakan (bid’ah) karena setiap bid’ah itu sesatâ€. (HR. Ahmad
IV:126-127; Abu Dawud, 4583; Tarmidzi, 2676, Ibnu Majah, 43; Ad-Darimi 1:44-45;
Al-Baghawi, 1-205, syarah dan As Sunnah, dan Tarmidzi berkata, hadits ini hasan
shahih, dan shahih menurut Syaikh Al-Albani).
Hadirin yang berbahagia.
Tentang sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam: “Aku wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaatiâ€, tersebut di atas, Ibnu Rajab berkata, bahwa kedua kata itu yaitu mendengar dan mentaati, mempersatukan kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun taqwa merupakan penjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Hadirin sidang Jum’at yang berbahagia.
Di samping itu taqwa juga merupakan sebaik-baiknya pakaian dan bekal orang mu’min, hal ini seperti yang digambarkan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam firmanNya surat Al-A’raaf ayat 26 dan Al-Baqarah ayat 197. Allah berfirman:
Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang terbaik. (Al-A’raaf: 26).
Allah Ta'ala menganugerahkan kepada hamba-hambaNya pakaian penutup aurat (al-libas) dan pakaian indah (ar-risy), maka al-libas merupakan kebutuhan yang harus, sedangkan ar-risy sebagai tambahan dan penyempurna, artinya Allah menunjuki kepada manusia bahwa sebaik-baik pakaian yaitu pakaian yang bisa menutupi aurat yang lahir maupun batin, dan sekaligus memper-indahnya, yaitu pakaian at-taqwa.
Qasim bin Malik meriwayatkan dari â€کAuf dari Ma’bad Al-Juhani berkata, maksud pakaian taqwa adalah al-hayaa’ (malu). Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa pakaian taqwa adalah amal shalih, wajah yang simpatik, dan bisa juga bermakna segala sesuatu yang Allah ajarkan dan tunjukkan.
Adapun taqwa sebagai sebaik-baiknya bekal sebagaimana tertuang dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 197:
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepadaKu, hai orang-orang yang berakal"
Para hadirin yang berbahagia
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut, dengan menyatakan bahwa kalimat “sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwaâ€, menunjukkan bahwa tatkala Allah memerintahkan kepada hambaNya untuk mengambil bekal dunia, maka Allah menunjuki kepadanya tentang bekal menuju akhirat (yaitu taqwa).
Para hadirin yang berbahagia.
Seandainya kita mampu mengaplikasikan atau merealisasikan, kedua ayat di atas bukanlah suatu hal yang mustahil, dan itu merupakan modal utama bagi kita untuk bersua kepada Sang Pencipta.
Saudara-saudara yang berbahagia, banyak sekali faktor-faktor penunjang agar kita bisa merasakan ketaqwaan tersebut, di antaranya:
1. Mahabbatullah
2. Muraqabatullah (merasakan adanya pengawasan Allah)
3. Menjauhi penyakit hati
4. Menundukkan hawa nafsu
5. Mewaspadai tipu daya syaitan
Hadirin yang berbahagia.
Tentang sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam: “Aku wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaatiâ€, tersebut di atas, Ibnu Rajab berkata, bahwa kedua kata itu yaitu mendengar dan mentaati, mempersatukan kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun taqwa merupakan penjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Hadirin sidang Jum’at yang berbahagia.
Di samping itu taqwa juga merupakan sebaik-baiknya pakaian dan bekal orang mu’min, hal ini seperti yang digambarkan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam firmanNya surat Al-A’raaf ayat 26 dan Al-Baqarah ayat 197. Allah berfirman:
Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang terbaik. (Al-A’raaf: 26).
Allah Ta'ala menganugerahkan kepada hamba-hambaNya pakaian penutup aurat (al-libas) dan pakaian indah (ar-risy), maka al-libas merupakan kebutuhan yang harus, sedangkan ar-risy sebagai tambahan dan penyempurna, artinya Allah menunjuki kepada manusia bahwa sebaik-baik pakaian yaitu pakaian yang bisa menutupi aurat yang lahir maupun batin, dan sekaligus memper-indahnya, yaitu pakaian at-taqwa.
Qasim bin Malik meriwayatkan dari â€کAuf dari Ma’bad Al-Juhani berkata, maksud pakaian taqwa adalah al-hayaa’ (malu). Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa pakaian taqwa adalah amal shalih, wajah yang simpatik, dan bisa juga bermakna segala sesuatu yang Allah ajarkan dan tunjukkan.
Adapun taqwa sebagai sebaik-baiknya bekal sebagaimana tertuang dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 197:
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepadaKu, hai orang-orang yang berakal"
Para hadirin yang berbahagia
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut, dengan menyatakan bahwa kalimat “sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwaâ€, menunjukkan bahwa tatkala Allah memerintahkan kepada hambaNya untuk mengambil bekal dunia, maka Allah menunjuki kepadanya tentang bekal menuju akhirat (yaitu taqwa).
Para hadirin yang berbahagia.
Seandainya kita mampu mengaplikasikan atau merealisasikan, kedua ayat di atas bukanlah suatu hal yang mustahil, dan itu merupakan modal utama bagi kita untuk bersua kepada Sang Pencipta.
Saudara-saudara yang berbahagia, banyak sekali faktor-faktor penunjang agar kita bisa merasakan ketaqwaan tersebut, di antaranya:
1. Mahabbatullah
2. Muraqabatullah (merasakan adanya pengawasan Allah)
3. Menjauhi penyakit hati
4. Menundukkan hawa nafsu
5. Mewaspadai tipu daya syaitan
آ§آ Mahabbatullah
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“Mahabbah itu ibarat pohon (kecintaan) dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat yang dicintainya, batangnya adalah ma’rifah kepadaNya, rantingnya adalah rasa takut kepada (siksa)Nya, daunnya adalah rasa malu terhadapNya, buah yang dihasilkan adalah taat kepadaNya, bahan penyiramnya adalah dzikir kepadaNya, kapan saja, jika amalan-amalan tersebut berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allahâ€. (Raudlatul Muhibin, 409, Darush Shofa).
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“Mahabbah itu ibarat pohon (kecintaan) dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat yang dicintainya, batangnya adalah ma’rifah kepadaNya, rantingnya adalah rasa takut kepada (siksa)Nya, daunnya adalah rasa malu terhadapNya, buah yang dihasilkan adalah taat kepadaNya, bahan penyiramnya adalah dzikir kepadaNya, kapan saja, jika amalan-amalan tersebut berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allahâ€. (Raudlatul Muhibin, 409, Darush Shofa).
آ§آ Merasakan adanya pengawasan Allah.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah melihat apa-apa yang kamu kerjakanâ€. (Al-Hadid: 4).
Makna ayat ini, bahwa Allah mengawasi dan menyaksikan perbuatanmu kapan saja dan di mana saja kamu berada. Di darat ataupun di laut, pada waktu malam maupun siang. Di rumah kediamanmu maupun di ruang terbuka. Segala sesuatu berada dalam ilmuNya, Dia dengarkan perkataanmu, melihat tempat tinggalmu, di mana saja adanya dan Dia mengetahui apa yang kamu sembunyikan serta yang kamu fikirkanâ€. (Tafsir Al-Qur’anul Adzim, IV/304).
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah melihat apa-apa yang kamu kerjakanâ€. (Al-Hadid: 4).
Makna ayat ini, bahwa Allah mengawasi dan menyaksikan perbuatanmu kapan saja dan di mana saja kamu berada. Di darat ataupun di laut, pada waktu malam maupun siang. Di rumah kediamanmu maupun di ruang terbuka. Segala sesuatu berada dalam ilmuNya, Dia dengarkan perkataanmu, melihat tempat tinggalmu, di mana saja adanya dan Dia mengetahui apa yang kamu sembunyikan serta yang kamu fikirkanâ€. (Tafsir Al-Qur’anul Adzim, IV/304).
آ§آ Menjauhi penyakit hati
Para hadirin.
Di dunia ini tidak ada yang namanya kejahatan dan bencana besar, kecuali penyebabnya adalah perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. Adapun penyebab dosa itu teramat banyak sekali, di antaranya penyakit hati, penyakit yang cukup kronis, yang menimpa banyak manusia, seperti dengki, yang tidak senang kebahagiaan menghinggap kepada orang lain, atau ghibah yang selalu membicarakan aib orang lain, dan satu penyakit yang tidak akan diampuni oleh Allah yaitu Syirik. Oleh karena itu mari kita berlindung kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dari penyakit itu semua.
Para hadirin.
Di dunia ini tidak ada yang namanya kejahatan dan bencana besar, kecuali penyebabnya adalah perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. Adapun penyebab dosa itu teramat banyak sekali, di antaranya penyakit hati, penyakit yang cukup kronis, yang menimpa banyak manusia, seperti dengki, yang tidak senang kebahagiaan menghinggap kepada orang lain, atau ghibah yang selalu membicarakan aib orang lain, dan satu penyakit yang tidak akan diampuni oleh Allah yaitu Syirik. Oleh karena itu mari kita berlindung kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dari penyakit itu semua.
آ§آ Menundukkan hawa nafsu
Apabila kita mampu menahan dan menundukkan hawa nafsu, maka kita akan mendapatkan kebahagiaan dan tanda adanya nilai takwa dalam pribadi kita serta di akhirat mendapat balasan Surga. Seperti firman Allah yang artinya:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggalnya.†(An-Nazi’at: 40-41)
Apabila kita mampu menahan dan menundukkan hawa nafsu, maka kita akan mendapatkan kebahagiaan dan tanda adanya nilai takwa dalam pribadi kita serta di akhirat mendapat balasan Surga. Seperti firman Allah yang artinya:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggalnya.†(An-Nazi’at: 40-41)
آ§آ Mewaspadai tipu daya syaithan
Para hadirin yang berbahagia.
Seperti kita ketahui bersama bahwasanya syaithan menghalangi orang-orang mu’min dengan beberapa penghalang, yang pertama adalah kufur, jikalau seseorang selamat dari kekufuran, maka syaithan menggunakan caranya yang kedua yaitu berupa bid’ah, jika selamat pula maka ia menggunakan cara yang ketiga yaitu dengan dosa-dosa besar, jika masih tak berhasil dengan cara ini ia menggoda dengan perbuatan mubah, sehingga manusia menyibukkan dirinya dalam perkara ini, jika tidak mampu juga maka syaithan akan menyerahkan bala tentaranya untuk menimbulkan berbagai macam gangguan dan cobaan silih berganti.
Para hadirin yang berbahagia.
Seperti kita ketahui bersama bahwasanya syaithan menghalangi orang-orang mu’min dengan beberapa penghalang, yang pertama adalah kufur, jikalau seseorang selamat dari kekufuran, maka syaithan menggunakan caranya yang kedua yaitu berupa bid’ah, jika selamat pula maka ia menggunakan cara yang ketiga yaitu dengan dosa-dosa besar, jika masih tak berhasil dengan cara ini ia menggoda dengan perbuatan mubah, sehingga manusia menyibukkan dirinya dalam perkara ini, jika tidak mampu juga maka syaithan akan menyerahkan bala tentaranya untuk menimbulkan berbagai macam gangguan dan cobaan silih berganti.
Saudara-saudara
yang berbahagia, maka tidak diragukan lagi, bahwa mengetahui
rintangan-rintangan yang dibuat syaithan dan mengetahui tempat-tempat masuknya
ke hati anak Adam dari bujuk rayu syaithan merupakan poin tersendiri bagi kita.
Para hadirin yang berbahagia, demikianlah apa-apa yang bisa saya sampaikan, marilah kita berharap kepada Allah semoga kita termasuk orang-orang yang Muttaqin yang selalu istiqomah pada jalanNya.
Para hadirin yang berbahagia, demikianlah apa-apa yang bisa saya sampaikan, marilah kita berharap kepada Allah semoga kita termasuk orang-orang yang Muttaqin yang selalu istiqomah pada jalanNya.
ط¨ظژط§ط±ظژظƒظژ ط§ظ„ظ„ظ‡ظڈ ظ„ظگظٹظ’
ظˆظژظ„ظژظƒظڈظ…ظ’ ظپظگظٹ ط§ظ„ظ’ظ‚ظڈط±ظ’ط¢ظ†ظگ ط§ظ„ظ’ط¹ظژط¸ظگظٹظ’ظ…ظگطŒ
ظˆظژظ†ظژظپظژط¹ظژظ†ظگظٹظ’ ظˆظژط¥ظگظٹظ‘ظژط§ظƒظڈظ…ظ’ ط¨ظگظ…ظژط§ ظپظگظٹظ’ظ‡ظگ
ظ…ظگظ†ظژ ط§ظ’ظ„ط¢ظٹظژط§طھظگ ظˆظژط§ظ„ط°ظ‘ظگظƒظ’ط±ظگ ط§ظ„ظ’طظژظƒظگظٹظ’ظ…ظگطŒ
ظˆظژطھظژظ‚ظژط¨ظژظ„ظ‘ظژ ط§ظ„ظ„ظ‡ظڈ ظ…ظگظ†ظ‘ظگظٹظ’ ظˆظژظ…ظگظ†ظ’ظƒظڈظ…ظ’
طھظگظ„ط§ظژظˆظژطھظژظ‡ظڈطŒ ط¥ظگظ†ظ‘ظژظ‡ظڈ ظ‡ظڈظˆظژ ط§ظ„ط³ظ‘ظژظ…ظگظٹظ’ط¹ظڈ
ط§ظ„ظ’ط¹ظژظ„ظگظٹظ’ظ…ظڈ. ظˆظژط£ظژط³ظ’طھظژط؛ظ’ظپظگط±ظڈ ط§ظ„ظ„ظ‡ظژ ظ„ظگظٹظ’ ظˆظژظ„ظژظƒظڈظ…ظ’.
ط£ظژظ‚ظڈظˆظ’ظ„ظڈ ظ‚ظژظˆظ’ظ„ظگظٹظ’ ظ‡ظژط°ظژط§ ظˆظژط£ظژط³ظ’طھظژط؛ظ’ظپظگط±ظڈ
ط§ظ„ظ„ظ‡ظژ ط§ظ„ظ’ط¹ظژط¸ظگظٹظ’ظ…ظژ ظ„ظگظٹظ’ ظˆظژظ„ظژظƒظڈظ…ظ’
ظˆظژظ„ظگط³ظژط§ط¦ظگط±ظگ ط§ظ„ظ’ظ…ظڈط³ظ’ظ„ظگظٹظگظ…ظ’ظ†ظژ
ظˆظژط§ظ„ظ’ظ…ظڈط³ظ’ظ„ظگظ…ظژط§طھظگ ظˆظژط§ظ„ظ’ظ…ظڈط¤ظ’ظ…ظگظ†ظگظٹظ’ظ†ظژ
ظˆظژط§ظ„ظ’ظ…ظڈط¤ظ’ظ…ظگظ†ظژط§طھظگ ط§ظ’ظ„ط£ظژطظ’ظٹظژط§ط،ظگ ظ…ظگظ†ظ’ظ‡ظڈظ…ظ’
ظˆظژط§ظ’ظ„ط£ظژظ…ظ’ظˆظژط§طھظگ. ظپظژط§ط³ظ’طھظژط؛ظ’ظپظگط±ظڈظˆظ’ظ‡ظڈطŒ
ط¥ظگظ†ظ‘ظژظ‡ظڈ ظ‡ظڈظˆظژ ط§ظ„ظ’ط؛ظژظپظڈظˆظ’ط±ظڈ ط§ظ„ط±ظ‘ظژطظگظٹظ’ظ…ظڈ.
Khutbah Kedua
ط¥ظگظ†ظ‘ظژ ط§ظ„ظ’طظژظ…ظ’ط¯ظژ
ظ„ظگظ„ظ‘ظژظ‡ظگ ظ†ظژطظ’ظ…ظژط¯ظڈظ‡ظڈ ظˆظژظ†ظژط³ظ’طھظژط¹ظگظٹظ’ظ†ظڈظ‡ظڈ
ظˆظژظ†ظژط³ظ’طھظژط؛ظ’ظپظگط±ظڈظ‡ظ’ ظˆظژظ†ظژط¹ظڈظˆط°ظڈ ط¨ظگط§ظ„ظ„ظ‡ظگ ظ…ظگظ†ظ’
ط´ظڈط±ظڈظˆظ’ط±ظگ ط£ظژظ†ظ’ظپظڈط³ظگظ†ظژط§ ظˆظژظ…ظگظ†ظ’ ط³ظژظٹظ‘ظگط¦ظژط§طھظگ
ط£ظژط¹ظ’ظ…ظژط§ظ„ظگظ†ظژط§طŒ ظ…ظژظ†ظ’ ظٹظژظ‡ظ’ط¯ظگظ‡ظگ ط§ظ„ظ„ظ‡ظڈ ظپظژظ„ط§ظژ
ظ…ظڈط¶ظگظ„ظ‘ظژ ظ„ظژظ‡ظڈ ظˆظژظ…ظژظ†ظ’ ظٹظڈط¶ظ’ظ„ظگظ„ظ’ ظپظژظ„ط§ظژ ظ‡ظژط§ط¯ظگظٹظژ
ظ„ظژظ‡ظڈ. ط£ظژط´ظ’ظ‡ظژط¯ظڈ ط£ظژظ†ظ’ ظ„ط§ظژ ط¥ظگظ„ظژظ‡ظژ ط¥ظگظ„ط§ظ‘ظژ ط§ظ„ظ„ظ‡ظڈ
ظˆظژطظ’ط¯ظژظ‡ظڈ ظ„ط§ظژ ط´ظژط±ظگظٹظ’ظƒظژ ظ„ظژظ‡ظڈ ظˆظژط£ظژط´ظ’ظ‡ظژط¯ظڈ
ط£ظژظ†ظ‘ظژ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظ‹ط§ ط¹ظژط¨ظ’ط¯ظڈظ‡ظڈ ظˆظژط±ظژط³ظڈظˆظ’ظ„ظڈظ‡ظڈ
طµظژظ„ظ‘ظژظ‰ ط§ظ„ظ„ظ‡ظڈ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ظ†ظژط¨ظگظٹظ‘ظگظ†ظژط§ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظچ
ظˆظژط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¢ظ„ظگظ‡ظگ ظˆظژط£ظژطµظ’طظژط§ط¨ظگظ‡ظگ ظˆظژط³ظژظ„ظ‘ظژظ…ظژ
طھظژط³ظ’ظ„ظگظٹظ’ظ…ظ‹ط§ ظƒظژط«ظگظٹظ’ط±ظ‹ط§. ظ‚ظژط§ظ„ظژ طھظژط¹ظژط§ظ„ظژظ‰: ظٹظژط§
ط£ظژظٹظ‘ظڈظ‡ط§ظژ ط§ظ„ظ‘ظژط°ظگظٹظ’ظ†ظژ ط،ظژط§ظ…ظژظ†ظڈظˆط§ ط§طھظ‘ظژظ‚ظڈظˆط§
ط§ظ„ظ„ظ‡ظژ طظژظ‚ظ‘ظژ طھظڈظ‚ظژط§طھظگظ‡ظگ ظˆظژظ„ط§ظژ طھظژظ…ظڈظˆظ’طھظڈظ†ظ‘ظژ
ط¥ظگظ„ط§ظ‘ظژ ظˆظژط£ظژظ†طھظڈظ…ظ’ ظ…ظ‘ظڈط³ظ’ظ„ظگظ…ظڈظˆظ’ظ†ظژ. ظ‚ظژط§ظ„ظژ
طھظژط¹ظژط§ظ„ظژظ‰: {ظˆظژظ…ظژظ† ظٹظژطھظ‘ظژظ‚ظگ ط§ظ„ظ„ظ‡ظژ ظٹظژط¬ظ’ط¹ظژظ„
ظ„ظ‘ظژظ‡ظڈ ظ…ظژط®ظ’ط±ظژط¬ظ‹ط§} ظˆظژظ‚ظژط§ظ„ظژ: {ظˆظژظ…ظژظ† ظٹظژطھظ‘ظژظ‚ظگ
ط§ظ„ظ„ظ‡ظژ ظٹظڈظƒظژظپظ‘ظگط±ظ’ ط¹ظژظ†ظ’ظ‡ظڈ ط³ظژظٹظ‘ظگط¦ظژط§طھظگظ‡ظگ
ظˆظژظٹظڈط¹ظ’ط¸ظگظ…ظ’ ظ„ظژظ‡ظڈ ط£ظژط¬ظ’ط±ظ‹ط§}
ط«ظڈظ…ظ‘ظژ ط§ط¹ظ’ظ„ظژظ…ظڈظˆظ’ط§ ظپظژط¥ظگظ†ظ‘ظژ ط§ظ„ظ„ظ‡ظژ ط£ظژظ…ظژط±ظژظƒظڈظ…ظ’ ط¨ظگط§ظ„طµظ‘ظژظ„ط§ظژط©ظگ ظˆظژط§ظ„ط³ظ‘ظژظ„ط§ظژظ…ظگ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ط±ظژط³ظڈظˆظ’ظ„ظگظ‡ظگ ظپظژظ‚ظژط§ظ„ظژ: {ط¥ظگظ†ظ‘ظژ ط§ظ„ظ„ظ‡ظژ ظˆظژظ…ظژظ„ط§ظژط¦ظگظƒظژطھظژظ‡ظڈ ظٹظڈطµظژظ„ظ‘ظڈظˆظ’ظ†ظژ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ط§ظ„ظ†ظ‘ظژط¨ظگظٹظ‘ظگطŒ ظٹظژط§ ط£ظژظٹظ‘ظڈظ‡ط§ظژ ط§ظ„ظ‘ظژط°ظگظٹظ’ظ†ظژ ط،ظژط§ظ…ظژظ†ظڈظˆظ’ط§ طµظژظ„ظ‘ظڈظˆظ’ط§ ط¹ظژظ„ظژظٹظ’ظ‡ظگ ظˆظژط³ظژظ„ظ‘ظگظ…ظڈظˆظ’ط§ طھظژط³ظ’ظ„ظگظٹظ’ظ…ظ‹ط§}.
ط§ظژظ„ظ„ظ‘ظژظ‡ظڈظ…ظ‘ظژ طµظژظ„ظ‘ظگ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظچ ظˆظژط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¢ظ„ظگ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظچ ظƒظژظ…ظژط§ طµظژظ„ظ‘ظژظٹظ’طھظژ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¥ظگط¨ظ’ط±ظژط§ظ‡ظگظٹظ’ظ…ظژ ظˆظژط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¢ظ„ظگ ط¥ظگط¨ظ’ط±ظژط§ظ‡ظگظٹظ’ظ…ظژطŒ ط¥ظگظ†ظ‘ظژظƒظژ طظژظ…ظگظٹظ’ط¯ظŒ ظ…ظژط¬ظگظٹظ’ط¯ظŒ. ظˆظژط¨ظژط§ط±ظگظƒظ’ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظچ ظˆظژط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¢ظ„ظگ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظچ ظƒظژظ…ظژط§ ط¨ظژط§ط±ظژظƒظ’طھظژ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¥ظگط¨ظ’ط±ظژط§ظ‡ظگظٹظ’ظ…ظژ ظˆظژط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¢ظ„ظگ ط¥ظگط¨ظ’ط±ظژط§ظ‡ظگظٹظ’ظ…ظژطŒ ط¥ظگظ†ظ‘ظژظƒظژ طظژظ…ظگظٹظ’ط¯ظŒ ظ…ظژط¬ظگظٹظ’ط¯ظŒ. ط§ظژظ„ظ„ظ‘ظژظ‡ظڈظ…ظ‘ظژ ط§ط؛ظ’ظپظگط±ظ’ ظ„ظگظ„ظ’ظ…ظڈط³ظ’ظ„ظگظ…ظگظٹظ’ظ†ظژ ظˆظژط§ظ„ظ’ظ…ظڈط³ظ’ظ„ظگظ…ظژط§طھظگطŒ ظˆظژط§ظ„ظ’ظ…ظڈط¤ظ’ظ…ظگظ†ظگظٹظ’ظ†ظژ ظˆظژط§ظ„ظ’ظ…ظڈط¤ظ’ظ…ظگظ†ظژط§طھظگ ط§ظ’ظ„ط£ظژطظ’ظٹظژط§ط،ظگ ظ…ظگظ†ظ’ظ‡ظڈظ…ظ’ ظˆظژط§ظ’ظ„ط£ظژظ…ظ’ظˆظژط§طھظگطŒ ط¥ظگظ†ظ‘ظژظƒظژ ط³ظژظ…ظگظٹظ’ط¹ظŒ ظ‚ظژط±ظگظٹظ’ط¨ظŒ. ط§ظژظ„ظ„ظ‘ظژظ‡ظڈظ…ظ‘ظژ ط£ظژط±ظگظ†ظژط§ ط§ظ„ظ’طظژظ‚ظ‘ظژ طظژظ‚ظ‘ظ‹ط§ ظˆظژط§ط±ظ’ط²ظڈظ‚ظ’ظ†ظژط§ ط§طھظ‘ظگط¨ظژط§ط¹ظژظ‡ظڈطŒ ظˆظژط£ظژط±ظگظ†ظژط§ ط§ظ„ظ’ط¨ظژط§ط·ظگظ„ظژ ط¨ط§ظژط·ظگظ„ط§ظ‹ ظˆظژط§ط±ظ’ط²ظڈظ‚ظ’ظ†ظژط§ ط§ط¬ظ’طھظگظ†ظژط§ط¨ظژظ‡ظڈ. ط±ظژط¨ظ‘ظژظ†ظژط§ ط¢طھظگظ†ظژط§ ظپظگظٹ ط§ظ„ط¯ظ‘ظڈظ†ظ’ظٹظژط§ طظژط³ظژظ†ظژط©ظ‹ ظˆظژظپظگظٹ ط§ظ„ط¢ط®ظگط±ظژط©ظگ طظژط³ظژظ†ظژط©ظ‹ ظˆظژظ‚ظگظ†ظژط§ ط¹ظژط°ظژط§ط¨ظژ ط§ظ„ظ†ظ‘ظژط§ط±ظگ. ط±ظژط¨ظ‘ظژظ†ظژط§ ظ‡ظژط¨ظ’ ظ„ظژظ†ظژط§ ظ…ظگظ†ظ’ ط£ظژط²ظ’ظˆظژط§ط¬ظگظ†ظژط§ ظˆظژط°ظڈط±ظ‘ظگظٹظ‘ظژط§طھظگظ†ظژط§ ظ‚ظڈط±ظ‘ظژط©ظژ ط£ظژط¹ظ’ظٹظڈظ†ظچ ظˆظژط§ط¬ظ’ط¹ظژظ„ظ’ظ†ظژط§ ظ„ظگظ„ظ’ظ…ظڈطھظ‘ظژظ‚ظگظٹظ†ظژ ط¥ظگظ…ظژط§ظ…ظ‹ط§. ط³ظڈط¨ظ’طظژط§ظ†ظژ ط±ظژط¨ظ‘ظگظƒظژ ط±ظژط¨ظ‘ظگ ط§ظ„ظ’ط¹ظگط²ظ‘ظژط©ظگ ط¹ظژظ…ظ‘ظژط§ ظٹظژطµظگظپظڈظˆظ’ظ†ظژطŒ ظˆظژط³ظژظ„ط§ظژظ…ظŒ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ط§ظ„ظ’ظ…ظڈط±ظ’ط³ظژظ„ظگظٹظ’ظ†ظژ ظˆظژط§ظ„ظ’طظژظ…ظ’ط¯ظڈ ظ„ظگظ„ظ‘ظژظ‡ظگ ط±ظژط¨ظ‘ظگ ط§ظ„ظ’ط¹ظژط§ظ„ظژظ…ظگظٹظ’ظ†ظژ.
ظˆظژطµظژظ„ظ‘ظژظ‰ ط§ظ„ظ„ظ‡ظڈ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظچ ظˆظژط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¢ظ„ظگظ‡ظگ ظˆظژطµظژطظ’ط¨ظگظ‡ظگ ظˆظژط³ظژظ„ظ‘ظژظ…ظژ. ظˆظژط£ظژظ‚ظگظ…ظگ ط§ظ„طµظ‘ظژظ„ط§ظژط©ظژ.
ط«ظڈظ…ظ‘ظژ ط§ط¹ظ’ظ„ظژظ…ظڈظˆظ’ط§ ظپظژط¥ظگظ†ظ‘ظژ ط§ظ„ظ„ظ‡ظژ ط£ظژظ…ظژط±ظژظƒظڈظ…ظ’ ط¨ظگط§ظ„طµظ‘ظژظ„ط§ظژط©ظگ ظˆظژط§ظ„ط³ظ‘ظژظ„ط§ظژظ…ظگ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ط±ظژط³ظڈظˆظ’ظ„ظگظ‡ظگ ظپظژظ‚ظژط§ظ„ظژ: {ط¥ظگظ†ظ‘ظژ ط§ظ„ظ„ظ‡ظژ ظˆظژظ…ظژظ„ط§ظژط¦ظگظƒظژطھظژظ‡ظڈ ظٹظڈطµظژظ„ظ‘ظڈظˆظ’ظ†ظژ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ط§ظ„ظ†ظ‘ظژط¨ظگظٹظ‘ظگطŒ ظٹظژط§ ط£ظژظٹظ‘ظڈظ‡ط§ظژ ط§ظ„ظ‘ظژط°ظگظٹظ’ظ†ظژ ط،ظژط§ظ…ظژظ†ظڈظˆظ’ط§ طµظژظ„ظ‘ظڈظˆظ’ط§ ط¹ظژظ„ظژظٹظ’ظ‡ظگ ظˆظژط³ظژظ„ظ‘ظگظ…ظڈظˆظ’ط§ طھظژط³ظ’ظ„ظگظٹظ’ظ…ظ‹ط§}.
ط§ظژظ„ظ„ظ‘ظژظ‡ظڈظ…ظ‘ظژ طµظژظ„ظ‘ظگ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظچ ظˆظژط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¢ظ„ظگ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظچ ظƒظژظ…ظژط§ طµظژظ„ظ‘ظژظٹظ’طھظژ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¥ظگط¨ظ’ط±ظژط§ظ‡ظگظٹظ’ظ…ظژ ظˆظژط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¢ظ„ظگ ط¥ظگط¨ظ’ط±ظژط§ظ‡ظگظٹظ’ظ…ظژطŒ ط¥ظگظ†ظ‘ظژظƒظژ طظژظ…ظگظٹظ’ط¯ظŒ ظ…ظژط¬ظگظٹظ’ط¯ظŒ. ظˆظژط¨ظژط§ط±ظگظƒظ’ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظچ ظˆظژط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¢ظ„ظگ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظچ ظƒظژظ…ظژط§ ط¨ظژط§ط±ظژظƒظ’طھظژ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¥ظگط¨ظ’ط±ظژط§ظ‡ظگظٹظ’ظ…ظژ ظˆظژط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¢ظ„ظگ ط¥ظگط¨ظ’ط±ظژط§ظ‡ظگظٹظ’ظ…ظژطŒ ط¥ظگظ†ظ‘ظژظƒظژ طظژظ…ظگظٹظ’ط¯ظŒ ظ…ظژط¬ظگظٹظ’ط¯ظŒ. ط§ظژظ„ظ„ظ‘ظژظ‡ظڈظ…ظ‘ظژ ط§ط؛ظ’ظپظگط±ظ’ ظ„ظگظ„ظ’ظ…ظڈط³ظ’ظ„ظگظ…ظگظٹظ’ظ†ظژ ظˆظژط§ظ„ظ’ظ…ظڈط³ظ’ظ„ظگظ…ظژط§طھظگطŒ ظˆظژط§ظ„ظ’ظ…ظڈط¤ظ’ظ…ظگظ†ظگظٹظ’ظ†ظژ ظˆظژط§ظ„ظ’ظ…ظڈط¤ظ’ظ…ظگظ†ظژط§طھظگ ط§ظ’ظ„ط£ظژطظ’ظٹظژط§ط،ظگ ظ…ظگظ†ظ’ظ‡ظڈظ…ظ’ ظˆظژط§ظ’ظ„ط£ظژظ…ظ’ظˆظژط§طھظگطŒ ط¥ظگظ†ظ‘ظژظƒظژ ط³ظژظ…ظگظٹظ’ط¹ظŒ ظ‚ظژط±ظگظٹظ’ط¨ظŒ. ط§ظژظ„ظ„ظ‘ظژظ‡ظڈظ…ظ‘ظژ ط£ظژط±ظگظ†ظژط§ ط§ظ„ظ’طظژظ‚ظ‘ظژ طظژظ‚ظ‘ظ‹ط§ ظˆظژط§ط±ظ’ط²ظڈظ‚ظ’ظ†ظژط§ ط§طھظ‘ظگط¨ظژط§ط¹ظژظ‡ظڈطŒ ظˆظژط£ظژط±ظگظ†ظژط§ ط§ظ„ظ’ط¨ظژط§ط·ظگظ„ظژ ط¨ط§ظژط·ظگظ„ط§ظ‹ ظˆظژط§ط±ظ’ط²ظڈظ‚ظ’ظ†ظژط§ ط§ط¬ظ’طھظگظ†ظژط§ط¨ظژظ‡ظڈ. ط±ظژط¨ظ‘ظژظ†ظژط§ ط¢طھظگظ†ظژط§ ظپظگظٹ ط§ظ„ط¯ظ‘ظڈظ†ظ’ظٹظژط§ طظژط³ظژظ†ظژط©ظ‹ ظˆظژظپظگظٹ ط§ظ„ط¢ط®ظگط±ظژط©ظگ طظژط³ظژظ†ظژط©ظ‹ ظˆظژظ‚ظگظ†ظژط§ ط¹ظژط°ظژط§ط¨ظژ ط§ظ„ظ†ظ‘ظژط§ط±ظگ. ط±ظژط¨ظ‘ظژظ†ظژط§ ظ‡ظژط¨ظ’ ظ„ظژظ†ظژط§ ظ…ظگظ†ظ’ ط£ظژط²ظ’ظˆظژط§ط¬ظگظ†ظژط§ ظˆظژط°ظڈط±ظ‘ظگظٹظ‘ظژط§طھظگظ†ظژط§ ظ‚ظڈط±ظ‘ظژط©ظژ ط£ظژط¹ظ’ظٹظڈظ†ظچ ظˆظژط§ط¬ظ’ط¹ظژظ„ظ’ظ†ظژط§ ظ„ظگظ„ظ’ظ…ظڈطھظ‘ظژظ‚ظگظٹظ†ظژ ط¥ظگظ…ظژط§ظ…ظ‹ط§. ط³ظڈط¨ظ’طظژط§ظ†ظژ ط±ظژط¨ظ‘ظگظƒظژ ط±ظژط¨ظ‘ظگ ط§ظ„ظ’ط¹ظگط²ظ‘ظژط©ظگ ط¹ظژظ…ظ‘ظژط§ ظٹظژطµظگظپظڈظˆظ’ظ†ظژطŒ ظˆظژط³ظژظ„ط§ظژظ…ظŒ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ط§ظ„ظ’ظ…ظڈط±ظ’ط³ظژظ„ظگظٹظ’ظ†ظژ ظˆظژط§ظ„ظ’طظژظ…ظ’ط¯ظڈ ظ„ظگظ„ظ‘ظژظ‡ظگ ط±ظژط¨ظ‘ظگ ط§ظ„ظ’ط¹ظژط§ظ„ظژظ…ظگظٹظ’ظ†ظژ.
ظˆظژطµظژظ„ظ‘ظژظ‰ ط§ظ„ظ„ظ‡ظڈ ط¹ظژظ„ظژظ‰ ظ…ظڈطظژظ…ظ‘ظژط¯ظچ ظˆظژط¹ظژظ„ظژظ‰ ط¢ظ„ظگظ‡ظگ ظˆظژطµظژطظ’ط¨ظگظ‡ظگ ظˆظژط³ظژظ„ظ‘ظژظ…ظژ. ظˆظژط£ظژظ‚ظگظ…ظگ ط§ظ„طµظ‘ظژظ„ط§ظژط©ظژ.
آ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar