Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
الحمد لله الذى جَعَلَنا مِنْ عِبادِهِ الْمُخْلِصِيْْنَ ووَفَّقَنا لِلْعَمَلِ بِما فيهِ صَلاحُ الاسْلامِ والمسلمين
أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الهادى الى الصراط لمستقيم أما بعد،، فياأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا. فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ “
Ma’asyiral
Muslimin Rahimakumullah..
Alhamdulilllah,
segala puji kita panjatkan kehadirat Allah swt bahwa hingga saat ini, Allah
masih memberi kita kesempatan untuk menyempurnakan pengabdian kita kepadaNya,
dengan harapan mudah-mudahan segala kekurangan dalam proses pengabdian itu
diampuni oleh Allah swt. Mudah-mudahan juga momentum hari jumat ini semakin
memberikan kita kesadaran akan peningkatan kualitas iman dan takwa kita
kepadaNya. Amin.
Sesungguhnya
kehidupan ini memang Allah ciptakan untuk menguji siapa diantara hambaNya yang
paling banyak dan paling baik beramal. Beramal merupakan inti dari keberadaan
manusia di dunia ini, tanpa amal maka manusia akan kehilangan fungsi dan peran
utamanya dalam menegakkan khilafah dan imarah. Allah berfirman menegaskan
tujuan keberadaan manusia,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
” Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun“. (Al-Mulk: 2)
Namun
pada tahap implementasinya, ternyata tidak cukup hanya beramal saja, karena
memang Allah akan menseleksi setiap amal itu dari niatnya dan keikhlasannya.
Tanpa ikhlas, amal seseorang akan sia-sia tidak berguna dan tidak dipandang
sedikitpun oleh Allah swt. Imam Al-Ghazali menuturkan, “Setiap manusia binasa
kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu akan binasa kecuali orang yang
beramal (dengan ilmunya). Orang yang beramal juga binasa kecuali orang yang
ikhlas (dalam amalnya). Namun orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan
berhati-hati dalam beramal”. Dalam hal ini, hanya orang-orang yang ikhlas
beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat besar, seperti
yang dijamin Allah dalam firmanNya, “Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan
(bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu
buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di dalam
syurga-syurga yang penuh kenikmatan”. (Ash-Shaaffat: 40-43)
Ma’asyiral
Muslimin RahimakumuLlah…
Ayat
tentang keutamaan dan jaminan bagi orang yang bekerja dengan ini ini seharusnya
menjadi motifasi utama kita dalam menjalankan tugas dan pekerjaan kita
sehari-hari dalam apapun dimensi dan bentuknya, baik dalam konteks “hablum
minaLlah atau Hablum minannas”..karena hanya orang yang mukhlis nantinya yang
akan meraih keberuntungan yang besar di hari kiamat, yaitu syurga Allah yang
penuh dengan kenikmatan, meskipun dia harus banyak bersabar terlebih dahulu
ketika di dunia. Ayat ini juga merupakan salah satu diantara jaminan yang
disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang mukhlis.
Jaminan
lain yang Allah sediakan bagi mereka yang ikhlas dalam beramal bisa ditemukan
dalam kisah perjalanan Yusuf as ketika beliau berhadapan dengan seorang wanita
yang mengajaknya melakukan kemaksiatan. Bahwa Allah akan senantiasa memelihara
hambaNya yang mukhlis dari perbuatan keji dan maksiat, “Sesungguhnya wanita
itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun
bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda
(dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran
dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang mukhlis“.
(yusuf: 24). Dalam ayat lain, orang yang mukhlis juga mendapat jaminan akan
terhindar dari godaan dan bujuk rayu syetan. Syetan sendiri mengakui
ketidakberdayaan dan kelemahan mereka dihadapan orang-orang yang beramal dengan
ikhlas, “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan
ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (Al-Hijr: 39-40). Dengan
redaksi yang sama, ayat ini berulang dalam surah Shaad, “Iblis menjawab:
“Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka“. (Shad: 82-83). Sungguh
benteng keikhlasan merupakan benteng yang paling kokoh yang tak tergoyahkan
oleh apapun bentuk rayuan dan fitnah iblis dan sekutunya.
Ma’asyiral
muslimin RahimakumuLlah…
Dalam
tinjauan ilmu qira’at, para ulama qira’at berbeda dalam membaca kata
“Al-Mukhlashin” yang tersebut pada akhir kedua ayat tersebut. Sebagian qari’
membaca Al-Mukhlashin dengan ism maf’ul dan sebagian lainnya
membaca dengan isim fi’il Al-Mukhlishin. Imam Ibnu Katsir, Abu Amr
dan Ibnu Amir, membaca seluruh kalimat ini dalam Al-Qur’an dengan bacaan “Al-Mukhlishin”
yang artinya: Mereka mampu memurnikan agama dan ibadah mereka dari segala noda
yang bertentangan dengan nilai tauhid. Sedangkan ulama qira’at yang lain
membaca Al-Mukhlashin yang artinya: Mereka yang dipelihara dan
mendapat taufik dari Allah untuk memiliki sifat Ikhlas. Berdasarkan qira’at
ini, ikhlas dan iman adalah mutlak anugerah Allah swt kepada hamba-hambaNya
yang dikehendaki. Namun setiap hamba diperintahkan oleh Allah untuk senantiasa
memperhatikan dan meningkatkan kadar dan tingkt keikhlasannya dalam beramal.
Bahkan Allah menyuruh kita meneladani orang-orang yang mendapat petunjuk karena
tidak pernah mengharapkan balasan dari amalnya kecuali dari Allah swt,
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Yaasin: 21)
Secara
prinsip, Islam memandang keikhlasan sebagai pondasi dan ruh sebuah amal, apapun
bentuknya amal tersebut selama termasuk kategori amal sholih. Baik amal
tersebut dilakukan dalam skala pribadi maupun secara kolektif (bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara). Bahkan keikhlasan dalam ruang lingkup kolektif sosial
ternyata sesuatu yang berat dan memerlukan lebih kesabaran. Dalam konteks ini,
keikhlasan harus dibangun secara timbal balik antara seluruh individu dalam
masyarakat dan menghindari kecemburuan serta persepsi negatif terhadap
masing-masing anggota. Demikian, semakin luas wilayah kerja seseorang, maka
semakin dibutuhkan keikhlasan. Apalagi di tengah semakin beragam hambatan atau
ujian keikhlasan yang menghadangnya, yang pada umumnya adalah seperti yang
dinyatakan oleh Syekh Hasan Al-Banna’ dalam Risalahnya, yaitu: harta,
kedudukan, popularitas, gelar, ingin selalu tampil di depan dan diberi
penghargaan dan pujian dan sebagainya.
Ma’asyiral
Muslimin rahimakumuLlah…
Jika
keikhlasan dituntut dari setiap orang yang beramal, maka menurut Dr. Ali Abdul Halim
Mahmud, keikhlasan bagi seorang da’i merupakan keniscayaan yang harus
senantiasa menyertainya karena ia akan berhadapan dengan berbagai keadaan dan
beragam manusia dalam perjalanan dakwahnya. Jika tidak, maka binasa dan
sia-sialah amalnya. Bahkan sifat yang mendasar bagi seorang da’i yang harus
senantiasa melaziminya adalah ikhlas. Oleh karena itu, para ulama hadits
menjadikan bab Niat berada di awal kitab hadits susunan mereka, agar karya
tulis mereka selalu diawali dengan keikhlasan dan tidak luput dari sifat ini.
Bisa dibayangkan para ulama yang merupakan teladan dalam beramal mencontohkan
kita agar senantiasa mengukur setiap amal yang kita lakukan dengan ukuran
ikhlas.
Para
nabi Allah dalam kapasitas mereka sebagai da’i senantiasa menjadikan keikhlasan
sebagai jargon dan prinsip dakwah mereka. Sebagai contoh Nabi Muhammad saw
sebagai teladan utama dalam hal ini mengemukakan tentang motifasinya dalam
berdakwah, “Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam
menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang
mau mengambil jalan kepada Tuhan nya“. (Al-Furqan: 57)
Dengan
redaksi yang sama dan dalam surah yang sama secara berdampingan, seluruh nabi
Allah menekankan prinsip keikhlasan dalam dakwah mereka yang ideal, mulai dari
nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth dan Syu’aib as. “Dan aku sekali-kali tidak minta
upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan
semesta alam“. (Asy-Syu’ara’: 109, 127, 145, 164, 180). Inilah bangunan
keikhlasan yang pernah ditunjukkan dan dicontohkan dalam dakwah para nabi Allah
swt, sehingga mereka meraih kesuksesan dan diabadikan namanya oleh Allah swt
sebagai cerminan bagi para da’i setelah mereka.
Ma’asyiral
Muslimin rhimakumuLlah…
Menurut
bahasa, dalam kata ikhlas terkandung beberapa makna; jernih, bersih, suci dari
campuran dan pencemaran, baik berupa materi maupun non materi. Lawan dari
ikhlas adalah nifak dan riya’. Rasulullah saw bersabda tentang sifat yang mulia
ini dalam sabdanya, “Barangsiapa yang tujuan utamanya meraih pahala akhirat,
niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya dalam kalbunya, menghimpunkan baginya
semua potensi yang dimilikinya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya seraya
mengejarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang tujuan utamanya meraih dunia, niscaya
Allah akan menjadikan kemiskinannya berada di depan matanya, membuyarkan semua
potensi yang dimilikinya, dan dunia tidak akan datang sendiri kepadanya kecuali
menurut apa yang telah ditakdirkan untuknya“. (Tirmidzi).
Dalam
apapun keadaan, keikhlasan akan tetap menjadi modal, bekal sekaligus kemudi
amal sholih, apalagi dakwah sebagai puncak dari amal sholih. Karena semakin
berat dan mulia sebuah tugas tentu akan semakin dibutuhkan keikhlasan. Semakin
dewasa perjalanan dan pengalaman dakwah seseorang, maka semestinya semakin baik
tingkat dan kualitas keikhlasannya. Keikhlasan juga merupakan salah satu dari
dua pilar dan syarat diterimanya amal sholih, bahkan ia yang paling utama,
seperti yang dinyatakan oleh Abdullah bin Al-Mubarak ketika menafsirkan ayat: “Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2). Tanpanya amal seseorang akan sia-sia
tidak bernilai. Untuk itu, dengan ikhlas, akan mencukupi amal yang sedikit
seperti yang ditegaskan dalam sebuah riwayat Ad-Dailami, “Ikhlaslah kamu dalam
beramal, maka cukuplah amal yang sedikit yang kamu lakukan”.
” أَخْلِصِ الْعَمَلَ يَجْزِيْكَ القلِيْلُ مِنْهُ”
Agar
ikhlas dapat terpelihara, tentu ada variabel yang melekat pada setiap amal yang
kita lakukan; diantaranya variabel profesionalisme, kompetensi, itqan dan
kesungguhan. Maka amal yang cenderung apa adanya, serampangan, asal jadi,
“pokoknya” dan amal yang tidak konsisten bisa jadi karena ketidak ikhlasan kita
dalam menjalankan tugas tersebut. Ini tantangan terberat bagi kita
sesungguhnya. Ikhlas inilah yang akan memperkuat potensi spritualitas kita.
Lantas pertanyaan besar kita, “Apakah ruh dan motifasi yang menggerakkan roda
amal kita selama ini ???…
بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم ونفعنى واياكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم وتقبل الله منى ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar